Senja turun perlahan di langit Jakarta, menyisakan semburat jingga yang menari di antara gedung-gedung tinggi. Di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut jalanan Tebet, Aurel duduk menatap secangkir cappuccino yang mulai mendingin. Tangannya gemetar, hatinya belum sepenuhnya tenang sejak siang tadi—sejak pertemuannya yang tak diduga dengan Gery.
Ia tidak menyangka, setelah bertahun-tahun berusaha menghapus bayangan itu, dunia malah membawanya kembali ke titik mula. Senyum Gery masih sama. Tatapannya, walau sedikit lebih dewasa, tetap membawa luka yang pernah ia torehkan.
Aurel mendongak perlahan. Tatapan mereka bertemu. Sunyi mendadak menyelimuti meja itu, seolah dunia memberi ruang hanya untuk mereka berdua.
“Boleh duduk?” tanya Gery, pelan.
Aurel mengangguk, meski hatinya berteriak. “Silakan,” jawabnya singkat.
Gery menarik kursi dan duduk. Ia menggenggam tangan sendiri di pangkuannya, mencoba mencari kata.
“Aku… nggak nyangka bisa ketemu kamu hari ini,” ucap Gery akhirnya.
Aurel tersenyum samar. “Dunia kecil, ya.”
Sunyi kembali hadir, kali ini lebih lama. Di luar, suara kendaraan dan tawa pengunjung kafe menjadi latar bagi percakapan yang tertahan.
“Aurel…” suara Gery serak. “Aku tahu mungkin aku nggak berhak ngomong ini, tapi… aku minta maaf. Dulu. Semua yang pernah aku lakukan ke kamu…”
Aurel menatap lurus ke arah mata laki-laki itu. Ada luka yang belum sembuh, tapi juga ada kekuatan yang baru ia temukan.
“Gery, aku butuh waktu lama untuk berdamai. Dengan semuanya. Dengan kamu. Tapi sekarang aku sudah cukup kuat untuk bilang... aku memaafkanmu.”
Gery terdiam. Matanya berkaca-kaca, namun ia menahan diri.
“Aku nggak minta kita balik atau jadi seperti dulu,” lanjut Aurel. “Aku cuma mau kita selesai. Dengan cara yang benar.”
Gery mengangguk pelan. “Terima kasih… karena sudah memberikan itu.”
Mereka terdiam, tapi kali ini hening terasa berbeda. Bukan karena luka, tapi karena ada kelegaan. Seolah mereka berdua akhirnya bisa menghela napas setelah bertahun-tahun menahan.
Saat malam mulai menutup langit, Aurel berdiri dan mengambil tasnya.
“Aku harus pergi,” ucapnya.
Gery berdiri juga. “Boleh aku… peluk kamu? Untuk terakhir kali?”
Aurel ragu sejenak. Lalu mengangguk.
Pelukan itu singkat, tapi cukup untuk menutup bab yang pernah tertinggal terbuka terlalu lama.
Saat Aurel berjalan pergi, ia tidak menoleh. Karena untuk pertama kalinya, ia tahu bahwa ia sudah benar-benar melepaskan.