Alunan musik lembut terus mengalun mengiringi pasangan-pasangan yang menari, namun bagi Elja, malam itu berubah menjadi mimpi buruk yang tiba-tiba datang tanpa peringatan. Tangannya yang digenggam Herley perlahan mulai bergetar. Pandangan matanya tak bisa lepas dari sosok Ren di tengah kerumunan, pria yang selama ini hanya hidup dalam ingatannya sekarang berdiri nyata, hanya beberapa meter darinya.
“Ren...” bisik Elja lirih, nyaris tak terdengar.
Langkah-langkah dansanya mulai goyah, namun Herley sigap menopangnya.
“Elja?” suara Herley lembut, namun penuh kecemasan.
“Aku butuh udara segar...” ucap Elja dengan suara hampir putus. Herley mengangguk, lalu mengantarnya keluar ballroom. Di taman belakang hotel yang sepi dan hanya diterangi lampu taman yang redup, Elja menghembuskan napas panjang, mencoba mengatur detak jantungnya yang berdebar hebat.
Herley menatapnya dengan lembut, “Kalau kau mau, kita bisa pergi sekarang...”
Elja menggeleng lemah, “Tidak. Aku harus... harus ada di sini.”
Herley tahu sesuatu sedang terjadi. Tapi dia memilih diam, memberi ruang untuk Elja.
Di dalam ballroom, Irene menyadari perubahan ekspresi Ren. Meskipun ia tersenyum dan menari bersamanya, tapi Irene bisa merasakan seseorang telah kembali mengisi ruang kosong dalam hati Ren, ruang yang selama ini perlahan coba dia isi.
“Kau masih mencintainya, ya?” tanya Irene tiba-tiba, menghentikan langkah dansanya.
Ren terkejut, lalu terdiam sesaat. “Aku pikir sudah tidak... ternyata aku salah.”
Irene menarik napas panjang, mencoba menyembunyikan kekecewaannya dengan tersenyum.
“Setidaknya sekarang aku tahu, siapa lawanku.” Gumam Irene sambil melepaskan tangan Ren. Ia menatap Ren dalam-dalam, “Jika dia tak inginmu kembali, aku harap kau bisa melihatku ada di sini... menunggumu.”
Ren tak menjawab. Karena bahkan dirinya sendiri belum tahu arah langkah hatinya malam itu.
Di taman belakang, Elja duduk di bangku panjang, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya. Ingatan lima tahun lalu menyerbu seperti badai.
Hari itu, dia dan Ren bertengkar hebat. Ren tiba-tiba berubah dingin, menjauh tanpa penjelasan. Lalu sehari setelahnya, dia menghilang begitu saja. Tidak ada kabar, tidak ada alasan, hanya keheningan menyakitkan yang tersisa. Elja mencoba mencari tahu, tapi semua jejak Ren menghilang begitu saja.
Dan yang membuatnya lebih sakit Herley muncul tak lama kemudian, menjadi sosok pelindung yang selalu ada. Perlahan tapi pasti, Herley merebut semua tempat yang dahulu milik Ren.
Namun Elja tahu... hatinya belum berpindah. Tidak sepenuhnya.
Ren berdiri di dekat pintu taman, menatap dari kejauhan sosok Elja yang duduk sendiri. Ia tahu ini bukan tempat atau waktu yang tepat. Tapi jika tidak sekarang, mungkin kesempatan itu tak akan datang lagi.
Dengan langkah ragu, dia mendekat.
“Elja...”
Suara itu membuat Elja mematung. Ia menoleh perlahan. Matanya membesar, bibirnya bergetar.
“Ren...?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Ren berdiri di hadapannya. Lima tahun luka, lima tahun pertanyaan, lima tahun kerinduan... semua menggumpal di antara mereka dalam keheningan yang menyesakkan.
“Aku minta maaf...” Ren membuka suara, suaranya serak. “Karena pergi tanpa penjelasan. Karena membuatmu menunggu. Karena membuatmu terluka.”
Elja berdiri, air matanya mulai mengalir. “Kenapa, Ren? Kenapa kau tinggalkan aku tanpa penjelasan? Apa aku melakukan kesalahan?”
Ren menatap Elja dalam-dalam. “Aku... dipaksa pergi, Elja. Aku diancam.”
“Diancam?” Elja terkejut.
“Ya. Ayah Herley. Dia... dia bilang jika aku tidak menghilang dari hidupmu, maka seluruh karier dan masa depanku akan dihancurkan. Aku baru saja dapat tawaran kerja waktu itu, dan keluargaku sedang sulit... Aku lemah, Elja. Aku takut. Aku... pengecut.”
Air mata Elja semakin deras.
“Kenapa kau tidak bilang?”
“Karena saat aku ingin kembali... aku dengar kau sudah bersama Herley. Aku pikir... mungkin kau lebih bahagia tanpaku.”
Elja menutup wajahnya. Sakit hati, kecewa, dan harapan yang tiba-tiba hidup kembali membuat emosinya tak tertahan.
Dari kejauhan, Herley berdiri mematung. Ia mendengar segalanya. Dan hatinya... hancur.
(Bersambung........)
Penulis : Erina Kristiani😉